Selasa, 15 November 2011

KARYAKU : KISAH CINTA : CINTAKU ADA DI JOGJA

CINTAKU ADA DI JOGJA

Hari Jumat di pertigaan jalan dekat kampus, seperti biasanya aku diam berdiri menunggu seseorang. Banyak yang melintas di depan mataku. Motor, mobil, sepeda, taksi, dan orang-orang, padat berlalu lalang. Sesekali, aku pandangi jam di tanganku.

“Lama sekali.”, kataku pelan. Bosan menunggu, aku mulai melihat orang-orang di sekitarku. Kulihat ada seorang satpam kampusku sedang mengatur mobil yang akan keluar dari tempat parkir, lalu kulihat pedagang kaki lima yang sedang asik ngobrol dengan sebuah telepon genggam sambil menunggu dagangannya, dan kulihat dua sejoli yang menaiki motor sambil bercengkerama mesra. Seketika aku hanyut dalam lamunan. Melihat dua sejoli tadi, mengingatkanku pada sesuatu. Pikiranku pun melayang, terlintas kenangan tempo dulu. Empat tahun yang lalu, pada hari Sabtu, 4 Agustus 2007, saat pertama aku bertemu dengannya. Sebuah kisah yang tak pernah kuduga sebelumnya pun dimulai.

“Bangun, Ning!”, seru ibuku pagi itu.

“Nanti, Bu. Masih ngantuk.”, jawabku.

“Lihat, ini udah jam berapa? Ayo, cepet bangun. Kamu kan harus ikut retret.”

“Oh, iya. Aku lupa!”, seruku sambil beranjak dari tempat tidur.

Waktu sudah menunjukkan pukul 09.00 pagi. Padahal retret dimulai pukul 10.30 pagi. Aku pun bergegas menyiapkan segala peralatan dan barang yang diperlukan selama mengikuti acara itu. Pukul 09.45, setelah semua persiapan beres, aku pun berangkat bersama teman-teman satu gerejaku. Lokasi acara retret itu memang tidak terlalu jauh, tapi tetap saja aku datang terlambat. Setibanya di tempat acara, sudah banyak anak-anak muda berkumpul. Lumayan banyak yang kukenal, tapi tidak sedikit juga yang belum aku kenal.

Pukul 10.30 terlihat pada jam dinding di gereja itu, MC acara itu pun mulai menyambut kami semua. Setelah acara penyambutan, kami dibagi ke dalam beberapa kelompok.

“Christin Setyaningrum kelompok tiga!”, seru seseorang yang tidak kuketahui dari mana asalnya. Aku pun langsung berkumpul dengan sesama peserta kelompok tiga. Lalu kulihat satu per satu anak-anak kelompokku. Tiga cewek dan tiga cowok.

“Wah, kok bisa pas gitu, ya?”, kataku pada Anel, teman satu kelompokku yang sudah lama aku kenal.

Lalu acara selanjutnya, tiap kelompok diberi waktu untuk saling berkenalan. Karena perkenalan memang sangat penting untuk kekompakan kelompok.

“Namaku Christin Setyaningrum. Panggil aja Nining.”, kataku kepada semua anggota kelompokku yang sudah berkumpul untuk membuka acara perkenalan. Lalu teman yang lain juga mulai memperkenalkan diri mereka masing-masing.

“Aku Anel.”

“Aku Kristy”

“Aku Wahyu”

“Aku Dermawan”

“Hotang tu! Bukan Dermawan!”, teriak salah satu cowok kelompokku yang belum aku kenal dan belum memperkenalkan diri. Anak itu napa sih? Pikirku dalam hati dengan dahi berkerut.

“Aku Yoga”, jawab cowok yang aneh itu.

Ternyata namanya Yoga. Kulihat dia sekilas. Gaya berpakaian yang aneh dengan baju lengan panjang warna coklat, celana jeans yang terlalu ketat, dan sepatu berwarna hitam. Sedikit aku tertawa geli dalam hati melihat gayanya itu.

Setelah itu, acara demi acara pun dimulai. Sampai akhirnya acara yang aku tunggu-tunggu tiba, acara outbond. Hari Minggu, 5 Agustus 2007, pukul 12.00 siang, petualangan bersama kelompok tiga pun dimulai.

“Mohon perhatiannya. Sekarang saya akan menjelaskan rute outbond kita siang ini. Pos pertama berada tepat di depan gereja. Lalu, pos kedua.........”, kata MC menjelaskan panjang lebar tentang outbond sebelum kami berangkat. Kami pun mengambil undian. Memang belum beruntung, kelompokku mendapatkan undian terakhir.

Lalu outbond pun berlangsung. Berlangsung sangat seru, walau tubuh seakan terbakar panasnya matahari siang itu. Tetapi, aku sangat bersemangat meski aku merasa lelah untuk mengikuti berbagai permainan yang wajib diikuti oleh setiap kelompok. Tak terasa kami kelompok tiga, tiba di pos terakhir. Di pos terakhir itu merupakan puncak dari kelelahanku. Aku pun menyempatkan diri untuk duduk sebentar sambil mengamati teman-teman kelompok lain yang sedang mengikuti permainan. Lalu aku menoleh ke arah kelompokku, aku terkejut. Saat aku menoleh, ternyata dari tadi ada seseorang yang terus mengamatiku. Dia adalah salah satu anggota kelompokku. Iya, dia adalah Yoga. Tetapi, segera aku berpikir bahwa itu hanya kebetulan. Aku pun membuang muka ke arah lain. Aku melihat tempat minum. Tepat sekali, aku memang sedang haus. Aku langsung bergegas menuju tempat minum itu dan hendak menuangkan air ke dalam botol minumanku yang memang sudah kosong dari tadi.

“Sial banget, sih? Tempat minum ini berat.”, gerutuku saat tahu bahwa tempat minum itu berat dan aku tidak kuat mengangkatnya.

“Sini, biar aku bantu.”, terdengar suara yang tidak asing dari arah belakangku. Dan alangkah terkejutnya aku, ternyata suara itu adalah suara Yoga. Seketika itu juga, aku mulai merasa ada yang aneh di dalam hatiku. Seaneh gaya dia.

“Iya, makasih.”, ucapku setelah Yoga menuangkan air minum ke dalam botol minumanku. Tetapi, dia hanya membalas ucapanku dengan tersenyum. Senyum yang lembut. Senyum yang mampu membuat aku jadi salting, alias salah tingkah. Baru kali ini aku merasakan seperti ini. Aneh, benar-benar aneh.

Akhirnya, outbond pun selesai. Tapi bagai malapetaka untukku, kakiku terkilir saat berjalan kembali ke gereja. Tersiksanya aku berjalan disertai rasa senut-senut di kaki sebelah kananku. Ditambah, tidak ada yang peduli padaku. Teman-teman yang lain sudah jauh di depanku. Tetapi, untuk kedua kalinya aku dikejutkan oleh Yoga. Aku melihatnya berjalan pelan di seberang jalan yang aku lalui. Aku pun merasa senang. Yoga muncul lagi untuk menolongku. Bagai malaikat yang tahu keluhanku tanpa perlu aku ungkapkan. Entah mengapa, sejak saat itu sosok seorang Yoga sering terlintas di benakku. Hatiku seperti ditaburi gula. Terasa manis, dan Yoga seperti semut yang menggerogoti hatiku. Tapi, sayang sekali sampai retret selesai, aku dan Yoga tidak saling bicara satu sama lain.

Jam di tanganku sudah menunjukkan jam 16.00. Iya, itu sudah saatnya perpisahan. Acara retret pun diakhiri dengan saling berjabat tangan. Namun, rasa aneh itu kembali mengahampiri hatiku. Aku melihat Yoga dari kejauhan bersama rombongannya yang hendak pulang. Tak rela jika hanya sampai di sini, itulah yang aku pikirkan. Aku merasa sedih karena sebentar lagi, mungkin aku tidak bisa melihat sosok seorang Yoga lagi. Dan akhirnya, tibalah saat itu. Sebuah mobil menjemput Yoga dan rombongannya. Aku kini hanya dapat melihatnya dari kejauhan, memandanginya dengan perasaan tak rela. Mungkin, memang hanya sebatas ini saja harapanku. Mobil itu pun mulai melaju. Menjauh dan semakin menjauh. Setelah itu, aku mencoba untuk menerima kenyataan. Tanpa aku sadari, di depan gereja itu aku berkata, “Ya Tuhan, jika dia memang untukku, pertemukanlah aku dengannya suatu saat nanti.”

“Christin, lagi nunggu jemputan, ya? Kalo gitu, aku duluan.”, ucap temanku tiba-tiba yang membuyarkan lamunanku.

“Oke.”, jawabku. Sekejap, aku kembali larut dalam bayangan nostalgiaku.

Sesampainya di rumah, jam dinding menunjukkan jam 18.29, aku pun bergegas membereskan barang-barang dan membersihkan diri. Malam harinya, tubuhku yang terasa remuk, merebahkan diri di atas kasur yang nyaman. Dan lagi, sosok seorang Yoga melintas di dalam pikiranku. Terasa sedikit kerinduan melanda hatiku. Aku pun memejamkan mata, berusaha mengingat wajahnya.

Kriinngggg......!”, tiba-tiba handphoneku berdering. Aku tersentak kaget dibuatnya. Ternyata ada sebuah pesan yang tidak aku ketahui siapa pengirimnya. Di pesan itu tertulis...

“Lagi apa? Ini aku, Yoga”

Alangkah terkejutnya aku setelah membaca pesan itu. Ternyata pesan dari Yoga. Benar-benar Yoga.

“Aku gak lagi mimpi, kan?”, tanyaku pada diriku sendiri sambil mencubit pipiku. Dan itu bukan mimpi, itu nyata. Aku sontak tercengang. Seperti orang gila, tertawa dan tersenyum sendirian. Kaget bukan kepalang. Badanku tiba-tiba jadi panas dingin. Jantung berdetak dengan irama yang cepat bak kereta listrik dari Cina.

“Aduh, gimana ya balasnya?”, tanyaku lagi pada diri sendiri yang sedang gugup.

“Lagi istirahat aja. Ada apa, ya?”, balasku terhadap pesan Yoga.

Gak knpa2, aku cuma pengen lebih kenal ma kamu. Boleh?”

“Ya...boleh2 aja.”

          Saat itu hatiku seperti taman bunga pada musim semi yang sedang bermekaran. Aku dan Yoga pun semakin dekat. Hari demi hari, bulan demi bulan, akhirnya Yoga menyatakan perasaannya padaku. Dan saat itu, hatiku seperti meledak. Layaknya peristiwa nuklir di Nagasaki terjadi di dalam hatiku. Dan aku tidak bisa memungkiri bahwa, aku juga memiliki rasa yang sama padanya. Kami berdua akhirnya mencoba menjalani hubungan layaknya pasangan kekasih. Semakin hari, kami semakin dekat. Awalnya canggung, berubah menjadi lebih rileks. Ternyata, Tuhan mendengar dan menjawab doaku waktu itu.

            “Ning, sebelumnya aku mau minta maaf sama kamu. Maaf, kalo kasih kabar ini terlalu mendadak. Lulus SMP nanti, aku disuruh orang tuaku ngelanjutin sekolah di SMA di Jogja. Kamu kasih izin gak buat aku untuk sekolah di sana?”, ucap Yoga disela-sela pembicaraan kami ketika bertemu.

            Entah mengapa, aku merasa lemas banget dengar perkataan Yoga.

Aku terdiam sejenak, lalu aku mulai berkata perlahan, “Terus hubungan kita, bagaimana?”.

“Kenapa kamu tanya begitu, sih? Yang pasti, hubungan kita tetap lanjut. Aku pengen kamu tahu, aku gak main-main sama hubungan kita ini. Aku serius sama kamu.”, jawab Yoga dengan lembut yang membuat hatiku tenang.

“Aku juga serius sama kamu. Dan aku percaya sama kamu. Jadi, kalo kamu mau sekolah di Jogja, gak masalah. Aku akan selalu setia nunggu kamu pulang ke Lampung. Dan satu pintaku ke kamu, jaga hatimu hanya untuk aku. Satu hal lagi, aku akan menyusulmu ke Jogja”, balasku sambil menatap wajah Yoga dengan tersenyum.

Yoga pun menggenggam tanganku dan berkata, “Aku berjanji sama kamu. Hatiku ini cuma milik kamu seorang. Aku gak akan nyeleweng. Aku berharap, kamu juga begitu. Dan aku tunggu moment itu, saat aku bisa mengucapkan welcome to Jogja buat kamu”.

Akhirnya, aku dan Yoga saling mengikat janji setia. Memang terdengar lebay. Tapi itu nyata, dan pure dari hati yang paling dalam. Lalu, kami pun menjalani hubungan jarak jauh. Aku akui, memang tidak mudah menjalani hubungan semacam ini. Tapi, aku percaya kekuatan cintaku dan cintanya mampu melawan segala rintangan yang menerpa hubungan ini.

Tahun demi tahun berlalu, sudah hampir empat tahun kujalani hubungan yang sangat menguras kerinduan di hati ini. Sampai pada akhirnya, setelah kelulusan SMA, aku menepati janjiku pada Yoga. Janjiku untuk menyusulnya ke Jogja.

Welcome to Jogja, sayang.”, kata-kata itu akhirnya aku dengar dari Yoga.

Pesek! Ayo, pulang.”, tiba-tiba terdengar panggilan ejekan yang membuyarkan lamunanku akan kenangan indah itu. Iya, itu panggilan ejekan yang biasa dia lontarkan padaku. Panggilan ejekan yang terdengar manis, karena terucap dari mulut Yoga. Kini, aku sangat bahagia karena tidak lagi menjalani hubungan jarak jauh. Setiap hari aku dapat memandangi wajahnya. Aku semakin cinta padanya, dan akan selalu cinta padanya, dari dulu dan sampai kapanpun hati ini gak akan berubah, tidak peduli bertahun kujalani bersamanya. Bersama cintaku di sini, di Jogja.




By : CHRISTIN SETYANINGRUM

Tidak ada komentar: